Sharing Culture

Riawan Amin, Dirut Bank Muamalat Indonesia, disela-sela syukuran ulang tahun Bank Muamalat yang ke-13 dalam sebuah pernyataannya seperti yang dilansir harian Republika mengungkapkan bahwa organisasinya terus mengembangkan konsep ZIKR, PIKR dan MIKR. Pertama, kualitas ZIKR (Zero Base, Iman, Konsistensi dan Result Oriented) harus terus diasah dan ditumbuh kembangkan di dalam diri, serta menyuburkan budaya sharing PIKR (Power, Information, Knowledge, Reward ) dan sikap MIKR (Militan, Intelek, Kompetitif dan Regeneratif) harus mampu tercermin dari setiap kinerja yang dilakukan. Case tersebut menjadi bukti bahwa budaya sharing ternyata selama ini mampu menjadi kunci sebuah organisasi untuk terus mengembangkan diri.
Tidak bedanya di perusahaan besar atau kecil, dalam Knowledge Management (KM) yang bertumpu pada budaya knowledge-sharing (saling berbagi knowledge), hambatan terbentuknya budaya ini harus dihilangkan terlebih dahulu. Salah satu hambatan yang sering ditemui adalah lemahnya peranserta dan kepedulian seluruh karyawan akan hari esok perusahaan. Waltraut Ritter, President of Hong Kong Knowledge Management Society mengatakan bahwa budaya paternalistik di Asia membuat karyawan terbiasa untuk selalu meminta petunjuk atasan untuk melakukan suatu pekerjaan. Kebiasaan ini menyebabkan karyawan rikuh untuk berkreasi. Rikuh terhadap atasan karena takut salah atau dianggap sok tau. Dan kepada sesama rekan kerja karena takut dianggap cari muka.

Memang tidak ada cara yang baku untuk membentuk suatu kekuatan kerja berdasarkan knowledge di suatu perusahaan.
Namun perusahaan perlu menciptakan iklim yang mendorong agar setiap karyawan dapat berlatih dalam proses berpikir dan dan meningkatkan kreativitasnya. Langkah taktis yang dapat dilakukan perusahaan adalah melakukan sigi (survei) tentang persepsi seluruh karyawan terhadap apa yang menjadi SWOT (Strength-kekuatan, Weakness-kelemahan, Opportunity-peluang, Threat-ancaman) bagi perusahaan. Seluruh hasil sigi kemudian dapat dijadikan bahan diskusi kelompok berdasarkan persamaan atau perbedaan pandangan yang berkembang. Diskusi inilah merupakan bahan pemicu awal knowledge-sharing. Tindak lanjut dari diskusi adalah mempraktikkan seluruh kesepakatan hasil diskusi yang kemudian dievaluasi dalam kegiatan knowledge-sharing berikutnya. Seluruh aktivitas ini selanjutnya dapat dijadikan kegiatan rutin perusahaan.
Setelah aktivitas knowledge-sharing telah bergulir, seluruh kegiatan tersebut akan lebih mudah pelaksanaannya jika dibentuk apa yang dinamakan komunitas praktisi (Community of Practice–CoP). CoP merupakan forum yang mempertemukan semua fungsi dalam organisasi untuk menggodok berbagai knowledge dengan tujuan memecahkan berbagai masalah dan menghasilkan inovasi perusahaan. Sesuai dengan namanya, CoP berorientasi pada pertukaran pengalaman praktek-praktek (best practices) terbaik yang telah dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu partisipasi aktif anggota sangat menentukan kualitas dari CoP.
CoP tidak merubah struktur organisasi, karena CoP bersifat informal, namun keberadaannya diakui dan mendapat dukungan penuh dari perusahaan. Agar anggota CoP bebas berdiskusi dan mengekspresikan pendapat dan pengalamannya, semua peserta diminta melepas semua atribut jabatan dan fungsi di organisasi. Seluruh hasil CoP ditujukan untuk kepentingan salah satu fungsi atau seluruh bagian dalam organisasi.
Dalam KM memang kita tidak cukup hanya mengandalkan teori. Sebagian besar teori dan kumpulan pengalaman mempraktikkan KM dari negara-negara maju juga tidak dapat secara serta merta diterapkan dalam organisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena banyaknya perbedaan budaya, jenis usaha, kesiapan infrastruktur komunikasi dan informasi suatu wilayah dan tingkat melek terhadap teknologi informasi. Pola pikir dan tindakan yang diperlukan adalah, teori sebagai pijakan awal, lalu disesuaikan dengan budaya setempat, dipraktikkan dan kumpulan praktek terbaik akan dengan cepat akan membentuk teori baru yang sesuai dengan kondisi di mana kita berada.
Iklim peranserta karyawan dan persaingan yang sehat dalam perusahaan memang harus diciptakan oleh manajemen perusahaan, karena iklim ini tidak terbentuk dengan sendirinya. Budaya paternalis sangat kental dengan keteladanan pimpinan sebagai pelopor perubahan. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan perusahaan makin menuntut knowledge yang makin beragam. Pada gilirannya pemimpin memerlukan wisdom (kebijaksanaan) management yang didasarkan atas knowledge.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya sharing sangat diperlukan dalam sebuah organisasi dengan alasan antara lain:

1. Sebagai wujud implementasi tindak lanjut dari knowedge sebagai komponen utama Learning Organization.

2. Memberikan kesempatan dan mendorong setiap individu yang ada dalam organisasi tersebut untuk terus belajar dan memperluas kapasitas dirinya dengan take and give knowledges.

3. Menciptakan iklim yang mendorong agar setiap karyawan dapat berlatih dalam proses berpikir dan terus meningkatkan kreativitasnya.

4. Sebagai wujud dialog atau komunikasi dan interaksi untuk menggali dan menyelesaikan bersama seluruh aspek masalah, rencana atau tindakan yang ada dalam organisai.

5. Membentuk iklim optimalisasi peran serta seluruh karyawan dan persaingan (kompetisi) yang sehat dalam perusahaan demi peningkatan kompetensi dan kapabilitas karyawan itu sendiri serta demi kemajuan perusahaan.

0 comments: